Saya senang sekali membaca tulisan “Menghitung harga Jualan Fotografi”. Saya menikmati tulisan Didiet itu.
Apa yang ditulis oleh Didiet sangat bagus, dan
memberikan gambaran kepada fotografer berapa harga yang harus dipasang
pada jasa yang diberikan oleh mat kodak.
Izinkan saya memberikan komentar (yang panjang), sebagai tambahan saja (sebab tulisan Didiet sudah lengkap dan bagus).
Sebenarnya apa yang ditulis oleh Didiet bisa
disebut sebagai harga pokok produksi, atau harga yang dikeluarkan untuk
membuat sebuah produk (barang atau jasa), dalam hal ini jasa memotret.
Juragan pabrik sering menyebutnya dengan istilah HPP.
Berdasarkan HPP itu kita menetapkan margin atau keuntungan yang pantas kita terima. HPP + Margin itu yang kita sebut harga jual.
Namun sebelum sampai menetapkan harga, saya ingin merinci lagi komponen biaya yang biasa berlaku, yaitu:
- Biaya tetap: yang selalu ada. Jadi, kita memotret atau tidak memotret, biaya ini udah keluar. Misalnya, biaya penyusutan kamera.
- Biaya kadang-kadang: bisa ada, bisa tidak ada, tergantung kebutuhan. Orang sering menyebut biaya tidak tetap. Atau dalam bahasa gaul disebut biaya variabel.
- Biaya investasi: biaya awal yang kita keluarkan untuk bisnis. Biaya ini dikeluarkan sekali saja, bukan setiap melakukan pemotretan. Di sini termasuk biaya belajar memotret. Nah, biaya tetap ini tak dimasukkan dalam membuat HPP.
Kalau dirinci lagi keterangan Didiet, biaya yang dirinci dia, bisa kita kelompokkan sebagai berikut:
Biaya Tetap- hitung biaya : penyusutan lensa dan kamera
- hitung biaya : penyusutan komputer
- hitung biaya : bikin album + cetak foto + bikin frame …
- hitung biaya : rokok + makan
- hitung biaya : transport ke lokasi
- hitung biaya : penggunaan listrik
- hitung biaya : mikirin konsep
- hitung biaya : asisten buat nemenin ngedit
- hitung biaya : asisten buat bantuin motret
- hitung biaya : capek seharian buat motret
- hitung biaya : capek semingguan buat ngedit
- hitung biaya : belajar motret
- hitung biaya : belajar makai komputer
Nah, item di bawah ini belum masuk daftar. Tapi biaya ini boleh ada, boleh tidak:
- biaya marketing (biaya tetap)
- biaya SDM (termasuk biaya capek seharian buat motret)
- managemen fee (jika kita mensubkan lagi pekerjaan ini kepada orang lain)
- biaya sewa kantor (biaya tetap)
- biaya asuransi untuk alat yang dipakai
- biaya brand. Maksudnya, kalau brand kita terkenal seperti Darwis, kita pasang harga minimal untuk menjaga brand agar gak jatuh (atau biaya franchise jika kita pake brand orang lain)
- biaya pajak
- apa lagi ya?
Kita jumlahkan semua biaya di atas, kita akan
dapatkan biaya produksi. Tapi, yang bisa kita jumlahkan hanya biasa
kadang-kadang saja, sedangkan biaya tetap dan biaya investasi susah
ngitungnya. Karena itu, biaya penyusutan kamera, lensa, dan komputer
lebih baik dialihkan menjadi biaya sewa kamera, lensa, dan komputer,
sehingga bisa dipindahkan ke biaya kadang-kadang. Jadi, kalau kamera
milik sendiri, kita bisa menyewa kamera itu pada diri sendiri. he he..
Sekarang kita menentukan margin, yang bakal masuk kantong sebagai tabungan kita.
Seperti disebut di atas, margin ini selisih dari
harga jual dengan harga pokok produksi. Tentu saja kita (sebagai penjual
jasa) menginginkan margin yang paling besar. Tapi, margin ini kita tak
bisa menentukan sendiri. Di sini ada faktor klien dan pasar yang
membentuk harga jual.
Nah, harga jual itu banyak faktornya. Kita tak
bisa menentukan sendiri. Intinya, kalau fotografer di dunia ini cuma
satu, maka harga jual jasa kita sebagai fotografer bisa pasang seenak
kita. Tapi, kalau klien kita banyak pilihan, harga kita ditentukan oleh
“pasar”.
Maksudnya “pasar”, klien akan mencari yang
termurah di antara fotografer yang sekelas dengan kita yang menawarkan
jasa memotret ke klien. Jadi, fotografer yang tidak “sekelas” dicoret
dulu dari daftar. Sehingga klien punya daftar pendek. Ini terjadi, jika
klien kita pintar soal industri fotografer. Tapi, kalau klien kita
bodoh, dia akan mencari yang termurah saja. Akibatnya, hasil foto tidak
sesuai dengan yang diharapkan oleh klien tersebut.
Jadi di semua industri ada pembagian kelas untuk
penyedia jasa. Misalnya, kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah.
Penentuan kelas itu banyak faktornya, antara lain: jam terbang, kualitas
foto, kualitas fotografer, dan lain sebagainya.
Sekedar tambahan: sejak kamera digital merajalela,
harga kamera makin murah, dan memotret makin simpel, jumlah fotografer
makin banyak. Dan orang merasa memotret menjadi mudah. Jumlah orang
memotret makin banyak, baik yang profesional, setengah profesional, atau
mengaku profesional. Akibatnya, jumlah “pasokan” atau “penawaran” makin
banyak.. Ini membuat “harga” jasa memotret merosot.
Untuk menutup komentar ini, saya ceritakan dua
pengalaman seorang fotografer dan pengalaman seorang klien dalam
industri potret memotret
Pengalaman satu:
Seorang fotografer profesional yang berpengalaman
dan hasil fotonya bagus. Harganya tergolong mahal. Tapi, kini orderan
sepi karena banyak saingan. Lalu ini tips dia memasang harga: siapa yang
butuh? Apakah klien kita yang butuh dengan kita? Atau kita yang lagi
butuh klien?
Kalau kita lagi butuh klien, katanya, kita lagi gak
punya uang, harus bayar kontrakan, beli susu anak, harus mendiamkan
omelan istri karen udah lama gak dikasih belanja, ya dia pasang harga
berapa saja, yang penting ada uang masuk.
Tapi, pada “kondisi normal”, masih ada tabungan,
dan klien yang butuh kita, kita boleh pasang harga yang “normal” sesuai
dengan kelas kita.
Pengalaman dua:
Sebuah perusahaan yang mempunyai klien tokoh
politik yang harus dibuatkan fotonya untuk dipajang untuk kampanye. Foto
tokoh politik ini yang beredar di media tak ada yang bagus (kualitas
foto bagus, tapi ekspresi tokoh ini tak pernah baik). Nah, akhirnya
klien ini memutuskan menggunakan fotografer yang paling terkenal, paling
mahal, (bukan berarti kualitasnya paling bagus), untuk memotret sang
tokoh. Apa Alasannya? Ini penjelasannya: Jika hasil fotonya tetap kurang
memuaskan (maksudnya ekspresi tokoh itu tetap tak baik), kita bisa
bilang ke tokoh itu, bahwa kita sudah memakai fotografer terbaik di
Indonesia. Tidak ada lagi fotografer yang lebih terkenal dari orang itu.
Ha ha..
Sekedar info: kualitas memotret fotografer di
pengalaman satu rasanya lebih baik dibandingkan fotografer di pengalaman
dua. Inilah industri fotografer. Ha ha….